Cognitive Behavior Therapy (CBT) | Teknik Terapi Perilaku Kognitif

Beberapa tokoh dalam perkembangan Cognitive Behavior Therapy yaitu Albert Ellis dimulai dengan Rational Emotive Therapy, Aaron T. Beck

Pernahkah kamu mendengar tentang Cognitive Behavior Therapy / Terapi perilaku kognitif? Metode yang dikembangkan beberapa tokoh penting.

Beberapa tokoh dalam perkembangan Cognitive Behavior Therapy yaitu Albert Ellis dimulai dengan Rational Emotive Therapy, Aaron T. Beck berlandaskan Cognitive Therapy, Arnold Lazarus dengan Multimodal Therapy, dan  satu lagi  Donald Meichenbaum yang membawa Cognitive Behavior Modification. 

Michael Mahoney, dan Giovanni Liotti, serta Vittorio Guidano juga tidak kalah dalam memberikan sumbangan pemikirannya (Oemarjoedi, 2003:15).

Cognitive Behavior Therapy (CBT) - Teknik Terapi Perilaku Kognitif

SEJARAH

Rational Emotive Therapy yang dikemukakan oleh Albert Ellis pada dasarnya sudah pernah di tulis di artikel sebelumnya.

Silahkan baca di: Albert Ellis dan Rational Emotive Therapy (RET).

Kurang lebih dalam teorinya Ellis mengatakan bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk berbicara terhadap diri mereka sendiri, menilai diri mereka sendiri serta bersifat defensif. 

Manusia akan mulai bermasalah secara emosi maupun tingkah laku saat mereka fokus pada kebutuhan spesifik (misalnya cinta, keberhasilan, pengakuan) kemudian membuat menganggap kebutuhan itu adalah hal yang mutlak harus dipenuhi. 

Kata-kata yang memaksakan seperti tuntutan, perintah, keharusan, mesti, wajib dan sebagainya berpotensi akan meningkatkan naluri seseorang untuk berubah ke arah dogmatis serta irrasional. 

Dalam hal ini, pola pikir yang tidak logis / tidak rasional akan memunculkan gangguan emosi atau perasaan lalu berpotensi melahirkan gangguan pada tingkah laku juga. Dari sinilah beberapa prinsip dalam Cognitive Behavior Therapy diambil.

Sedangkan Cognitive Therapy menurut Aaron T. Beck, menyebut teorinya dengan istilah Cognitive Therapy (CT), ia mengembangkan teorinya dalam menangani kasus-kasus depresi. Tidak hanya itu, bahkan berkembang pada masalah tentang kecemasan serta phobia, lalu berlanjut terhadap masalah dalam gangguan kepribadian. 

Cognitive Therapy miliki Beck ini punya banyak persamaan dengan RET, terutama tentang pendekatan direktif, aktif, serta terpusat pada time line masa kini, juga terstruktur. Terapinya menekankan proses upayanya pada teknik untuk mengenali serta mengubah pikiran negatif seseorang sekaligus pada sistem kepercayaan mereka yang maladaptif (kaku).

Beck menekankan bahwa klien yang memiliki gangguan emosi biasanya cenderung mempunyai kesulitan dalam berpikir logis. Hal inilah yang melahirkan gangguan dalam kapasitas pemahamannya, hal ini ia namai dengan distorsi kognitif. 

Distorsi kognitif menurut Beck antara lain:

  • Terlalu gampang menarik kesimpulan tanpa data atau fakta yang mendukung, serta gemar berpikir dengan cara yang “catastrophic” atau jalan terburuk.
  • Memiliki pemahaman yang selektif, membatasi diri dalam pengambilan kesimpulan dilandasi sumber yang amat terbatas.
  • Mudah sekali melakukan generalisasi, menganggap apa yang ia pahami dapat diterapkan pada hal-hal lainnya.
  • Kecenderungan untuk memperkecil atau memperbesar masalah, mereka tidak mampu menilai suatu masalah di hadapan mereka dengan objektif.
  • Personalisasi, cenderung mengaitkan kejadian eksternal terhadap dirinya sendiri agar nanti dapat menyalahkan diri sendiri.
  • Pemberian label diri berdasarkan kegagalan atau kesalahan, identitasnya dirinya diambil dari kegagalannya.
  • Pola pemikiran terpolarisasi, kecenderungan berpikir serta menginterpretasikan hal-hal yang di depannya dengan cara semua atau tidak sama sekali (“all-or-nothing”).

Perbedaan mendasar antara terapi Rational Emotive Ellis dengan terapi Cognitive Beck ialah Ellis menitikberatkan terhadap substansi pikiran irrasional, sementara Beck menganggap disfungsi keyakinan yang terjadi menjadi sebuah masalah karena hal tersebut tidak cocok terhadap proses kognitif yang secara umum terjadi, justru bukan disebabkan ketidak rasionalnya. 

Terapi Cognitive mengumpulkan dan menggunakan bukti-bukti tertentu yang mendukung maupun bertentangan terhadap pandangan serta asumsi klien, agar dapat mengubah pola pikirnya.

Teori Cognitive Behavior Modification (CBM) yang dipopulerkan Donald Meichenbaum memakai teknik terapi yang disebut “self instructional” dengan prinsip merestrukturisasi sistem kognisi pada diri klien, namun proses ini dipusatka terhadap perubahan pola verbalisasinya. 

Menurut Meichenbaum, pernyataan diri dapat mengubah tingkah laku seseorang seperti halnya pernyataan dari orang lain. Untuk langkah pertama pada proses CBM (prasyarat agar dapat mengubah perilaku perilaku) klien perlu mengenali bagaimana mereka berpikir, bertindak, dan merasa, lalu memikirkan bagaimana konsekwensinya terhadap orang lain. 

Memang ada perbedaan mendasar dengan Rational Emotive Therapy yang lebih konfrontatif dan  direktif, maupun teori Cognitive Beck dengan sifatnya yang lebih terstruktur terhadap pencarian pola pikir otomatis, CBM sendiri lebih menitikberatkan perhatian untuk menyadarkan klien pada saat melakukan komunikasi terhadap diri sendiri (self talk). 

Self talk juga dikenal dengan berbagai istilahlain, seperti inner monologue inner dialogue (dialog batin), (monolog batin), self verbalizing (verbalisasi diri), inner speech (pembicaraan batin), self instructing (memberi instruksi terhadap diri sendiri), dan berbicara kepada diri sendiri.

Pada hampir seluruh hubungan konseling, biasanya terdapat tiga percakapan yang mungkin terjadi yaitu percakapan publik juga private self talk konselor dan juga klien. Proses terapi disini ialah kegiatan melatih klien agar dapat mengubah instruksi yang diberikan terhadap diri mereka sendiri dengan tujuan mereka dapat mengatasi masalah dengan lebih efektif. 

Meichenbaum menjelaskan bahwa suatu perubahan tingkah laku biasanya terjadi dalam beberapa tahapan, terutama interaksi mereka dengan diri sendiri, terjadi perubahan pada struktur kognitif, adanya perubahan pada tingkah laku, dan akhirnya muncul bukti berupa dampak terapi yang dilakukan klien terhadap gangguan mereka. 

Cognitive Behavior Therapy (CBT) - Teknik Terapi Perilaku Kognitif

Ia menggambarkan proses 3 tahap CBM sebagai berikut:

Observasi diri

Pada terapi awal, klien akan diminta untuk mengobservasi dialog internal pada diri mereka serta mengenali karakteristik kalimat negatif yang muncul. Proses ini juga akan melibatkan kegiatan dalam rangka menaikkan sensitivitas klien terhadap perasaan, pikiran, perbuatan, dan reaksi fisiologis yang muncul terhadap orang lain.

Membuat dialog internal baru

Pada tahap ini, klien akan belajar untuk memahami tingkah laku menyimpang yang ia lakukan, mereka kemudian mencari kesempatan agar mencari alternatif tingkah laku yang lebih adaptif (tidak menyimpang), yaitu dengan mengubah dialog internal pada diri mereka.

Dialog internal baru tersebut diharapkan akan menghasilkan perilaku baru, yang akan menjadi pemicu perubahan pada struktur kognisi klien.

Belajar keterampilan baru

Fase ini klien belajar teknik untuk mengatasi masalah nya dengan cara praktis yang dapat diterapkan pada kehidupannya sehari-hari. Kali ini, klien diharapkan agar tetap memusatkan fokus mereka kepada tugas untuk membuat kalimat baru serta mengamati perbedaan yang dihasilkan.

Definisi Cognitive Behavior Therapy (CBT)

Beck mengartikan Cognitive Behavior Therapy (CBT) sebagai suatu pendekatan dalam konseling yang dibuat untuk mengatasi permasalahan klien pada timeline saat ini dengan upaya melakukan restrukturisasi aspek kognitif serta perilaku yang dianggap menyimpang. 

Pedneault mendefinisikan Cognitive Behavior Therapy (CBT) merupakan salah satu teknik psikoterapi yang dilandaskan pada teori bahwa gejala fisiologis / simptom memiliki hubungan dengan interaksi antara pikiran, perilaku serta emosi.

Jadi kesimpulannya, CBT adalah teknik terapi yang menggabungkan tiga pendekatan yaitu  intrapsikik, biomedik, serta lingkungan. Pada saat melakukan teknik terapi ini akan lebih dominan mempergunakan prosedur terstruktur untuk melakukan upaya perubahan kognitif serta perilaku. 

Teknik berprinsip bahwa efek sebuah keadaan emosi, lalu perasaan dan tindakan yang terjadi pada seseorang sangat dipengaruhi oleh bagaimana mereka membentuk dunianya. Dengan kata lain bagaimana seseorang berfikir akan menentukan juga perasaan mereka beserta dengan reaksinya.

Pikiran seseorang memberikan gambaran tentang rangkaian kejadian di dalam kesadarannya. Gejala perilaku yang berkelainan atau menyimpang, berhubungan erat dengan isi pikiran, misalnya seseorang menderita anxietas atau gangguan kecemasan, ketakutan, kekhawatiran yang kuat karena mengantisipasi akan mengalami hal-hal yang tidak enak pada dirinya. 

Pada berbagai macam kasus, terapi kognitif behavioral dipergunakan guna mengidentifikasi, memperbaiki perilaku klien agar adaptif, serta mengatasi fungsi kognisi yang kurang pas yang mendasari faktor kognitifnya yang ada.

Terapis yang menggunakan pendekatan kognitif behavior ini menuntun klien agar berpikir dengan cara yang lebih realistis serta sesuai, sehingga dengan itu akan meminimalisir atau mengurangi simptom yang muncul. Terapi ini tidak berfokus terhadap kehidupan masa lalu dari klien, justru akan lebih fokus pada timeline saat ini. Namun tetap tidak mengabaikan timeline masa lalu sebagai faktor pendukung.

Tujuan Cognitive Behavior Therapy

Dalam bukunya, Oemarjoedi (2003:9) menyebutkan bahwa tujuan Cognitive Behavior Therapy / Terapi perilaku kognitif ialah untuk konfrontasi pikiran dan emosi klien yang salah dengan cara menampilkan bukti-bukti / fakta yang bertentangan terhadap keyakinan klien mengenai masalah yang sedang dihadapi. 

Berbagai ahli Cognitive Behavior mempunyai anggapan bahwa masa lalu tidak perlu menjadi fokus utama dalam terapi, maka dari itu Cognitive Behavior lebih dominan bekerja terhadap status kognitif masa kini agar diubah dari yang negatif ke arah positif. 

Namun, sebagian ahli lain tetap menghargai masa lalu proses atau bagian dari kehidupan klien serta mencoba membuat para klien menerima dengan baik masa lalunya. Tujuannya untuk dapat melakukan perubahan dalam pola pikir mereka pada masa kini agar mencapai perubahan demi masa yang akan datang.

Prinsip Cognitive Behavior Therapy

Beck menjelaskan prinsip-prinsip dasar dari CBT / Terapi perilaku kognitif adalah sebagai berikut:

  • Cognitive-Behavior Therapy didasarkan terhadap formulasi yang akan terus berkembang pada saat proses terapi berdasarkan dari permasalahan klien serta konseptualisasi kognitif klien saat itu.
  • Cognitive-Behavior Therapy didasarkan terhadap pemahaman yang sejalan antara terapis dengan klien pada permasalahan yang saat ini dihadapi klien.
  • Cognitive-Behavior Therapy memerlukan kolaborasi serta partisipasi aktif dari klien. Keduanya bersepakat untuk memahami dan menyelesaikan permasalahan bersama.
  • Cognitive-Behavior Therapy berorientasi terhadap tujuan serta berfokus pada permasalahan. Konselor dan klien aktif mengevaluasi perkembangan proses terapi.
  • Cognitive-Behavior Therapy menitikberatkan pada masalah saat ini, bukan masa lalu atau masa depan. 
  • Cognitive-Behavior Therapy juga dapat bersifat edukasi, bertujuan untuk mengedukasi klien agar dapat menjadi terapis untuk dirinya sendiri, serta menekankan untuk dapat mencapai proses pencegahan.
  • Cognitive-Behavior Therapy dibatasi dengan waktu tertentu.
  • Sesi Cognitive-Behavior Therapy merupakan terapi terstruktur. Dibagi menjadi 3 bagian, tahap 1 memahami permasalahan, bagian 2 meninjau tugas rumah, dan 3 umpan balik / evaluasi.
  • Cognitive-Behavior Therapy mengedukasi klien agar dapat mengidentifikasi, mengevaluasi, serta menanggapi berbagai disfungsional kognitifnya serta keyakinan mereka. 
  • Cognitive-Behavior Therapy tidak membatasi proses terapi pada teknik tertentu untuk mengubah pemikiran, perasaan, serta tingkah laku. Selama teknik itu dapat menunjang proses terapi maka boleh dilakukan.

Pendekatan dalam Cognitive Behavior Therapy

Dalam Terapi perilaku kognitif (CBT) ada tiga pendekatan di dalamnya, yaitu :

Exposure Therapy

Teknik ini biasanya dipakai dalam rangka mengontrol ketakutan tertentu yang dirasakan. Terapis membantu mengatasi situasi tertentu, objek, barang, orang, emosi atau memori yang berpotensi mengingatkan klien pada trauma dan memicu ketakutan tidak realistis. Ada dua pendekatan dalam hal ini:

  • Exposure in imagination, klien diminta oleh terapis agar menceritakan ulang mengenai memori peristiwa traumatis sampai klien perlahan tidak lagi memunculkan tingkat distres yang tinggi.
  • Exposure in reality, klien diarahkan untuk menghadapi ketakutan tertentu dengan menghadapi situasi yang dibuat seperti pengalamannya namun dengan kondisi aman. Kegiatan ini ditanggulangi secara berulang dan dapat membantu klien sadar bahwa keadaan tersebut pada dasarnya tidak berbahaya dan bisa ditanggulangi. Alih-alih menghindar seperti sebelumnya, kien justru diajarkan untuk menghadapi ketakutannya itu.

Cognitive Restructuring

Berprinsip pada pikiran klien yang belum tentu objektif tentang keadaan yang dialami sebenarnya. Perasaan seseorang kerap kali dipengaruhi oleh apa yang dipikirkan mereka tentang dirinya sendiri. Teknik ini akan membantu klien menangani urusan kenangan buruk akibat trauma yang dirasakan.

Pada bagian Terapi perilaku kognitif ini lebih menekankan pada penyimpangan proses kognitif, atau disebut dengan distorsi kognitif. Beberapa distorsi tersebut adalah:

  • Pemikiran mengenai “all or nothing thinking” (segalanya atau tidak sama sekali). Maksudnya adalah orang yang keras dalam menilai “mengenai hitam” putih secara ekstrem. Pemikiran jika saya bukan A, artinya saya B adalah dasar dari penuntutan terhadap kesempurnaan atau perfeksionisme. Jika dia tidak berhasil, artinya dia menganggap dirinya gagal total.
  • Overgeneralization (Terlalu menggeneralisasi). Hal ini sering kita temukan dalam sehari-hari, hanya karena klien dikhianati oleh pasangannya maka menganggap semua pria sama saja. Tentu hal ini akan mengganggu hubungan mereka di masa depan.
  • Filter mental. Hal ini seperti orang yang menggunakan kacamata hitam untuk melihat sesuatu. Orang yang menggunakan kacamata hitam akan gelap dalam melihat semua hal. Orang dengan filter ini menganggap situasi yang dialami dari sudut negatif, sehingga menyimpulkan semua hal selalu negatif. Hal ini juga sering disebut “abstrak selektif”.
  • Mendiskusikan yang positif. Mengabaikan hal positif yang terjadi juga mengubah semua yang ia alami menjadi hal negatif.
  • Loncatan ke kesimpulan. Orang yang terjebak dalam anggapan bahwa kesimpulan negatifnya selalu benar tanpa didukung kenyataan / fakta. Terdapat dua jenis distorsi kognitif dalam hal ini yaitu “membaca pikiran” dan “kesalahan peramal”. Membaca pikiran yaitu Berasumsi bahwa orang lain merendahkan dirinya, klien percaya pada pikirannya tersebut dan tidak mengecek kembali secara objektif untuk membuktikan apakah asumsinya benar atau salah. Kesalahan peramal yaitu kecenderungan klien membayangkan hal buruk pasti akan terjadi, menganggap hal tersebut fakta meskipun hal tersebut belum terjadi sama sekali. Hal ini tidak realistis.
  • Pembesaran dan pengecilan. Dalam istilah di Indonesia sering disebut dengan LEBAY, atau melebih-lebihkan sesuatu yang dihadapi. Melebihkan bisa dalam bentuk pembesaran atau membesar-besarkan kekurangannya, kesalahan, ketakutan, serta tidak sempurna yang ada pada dirinya. Bisa juga dalam pengecilan yaitu mengecilkan kemampuan dirinya masalah yang ada namun. Mereka merasa selalu rendah dan tidak berarti.
  • Penalaran emosional. Orang yang tersesat karena menekankan kebenaran menurut apa yang dikehendaki oleh emosinya, bukan keadaan sebenarnya.
  • Pernyataan “harus”. Orang yang sering berusaha memotivasi diri sendiri dengan mengatakan “saya harus bisa”. Hal yang muncul justru adalah tekanan, sehingga hasilnya justru sebaliknya. Apabila kata “harus” ini dituntutkan pada orang lain, maka mereka akan selalu frustasi karena tidak ada hal yang 100% seperti yang ia harapkan.
  • Memberi cap dan salah memberi cap. Ini adalah bentuk ekstrim dari menggeneralisasi. Distorsi kognitif ini menciptakan gambaran diri negatif berdasarkan pada kesalahan, bukan potensi diri atau kelebihan yang dimiliki.
  • Personalisasi. Distorsi kognitif kali ini adalah orang yang sering menjadikan semua hal adalah tanggung jawabnya. Sehingga sering memandang dirinya menjadi penyebab hal negatif terjadi. Padahal kejadian tersebut belum tentu salahnya.

Stress inoculation training (SIT)

Tujuan teknik SIT di Terapi perilaku kognitif adalah membantu klien menggapai kepercayaan diri untuk menerima kemampuannya mengatasi kecemasan serta ketakutan yang bermuara dari pengalaman traumatis. Selain itu, dalam teknik ini terapis membantu klien agar dapat waspada pada sesuatu yang mengingatkan pada pengalaman yang menimbulkan ketakutan.

Dalam SIT, klien akan diajarkan kemampuan strategi koping tertentu untuk mengatasi kecemasan. Dengan teknik seperti deep breathing atau muscle relaxation diharapkan dapat mengatasi manifestasi klinis seperti ketegangan otot, jantung berdebar maupun hiperventilasi.

Ada 3 fase dalam SIT, yaitu:

  • Initial conceptualization, edukasi pada klien mengenai bagaimana stress terjadi dan klien diajarkan untuk memahami bagaimana hubungan stress dan yang muncul serta reaksi yang muncul dari stress tersebut. Klien paham bahwa reaksi tersebut selalu bisa diubah, sehingga klien dapat menemukan mekanisme koping yang tepat untuk dirinya sendiri.
  • Skill aquisation and rehearsal, yaitu klien diedukasi mengenai kemampuan yang penting, agar dapat memenuhi kebutuhan klien dengan sesuai pada kemampuan yang mereka miliki. 
  • Application and follow through, kesempatan praktik oleh klien tentang apa yang sudah dipelajari. Konselor mendorong latihan visualisasi, modelling, role play, belajar mandiri agar klien mampu menggunakan kemampuan tersebut secara otomatis.

Teknik Cognitive Behavior Therapy (CBT)

Ada banyak teknik yang sering digunakan para ahli dalam Terapi perilaku kognitif yaitu:

  • Menata keyakinan irrasional.
  • Bibliotherapy, atau dengan referensi, cerita, buku dsb.
  • Mengulang penggunaan berbagai pernyataan diri pada saat role play dengan konselor.
  • Melatih pernyataan diri berbeda-beda dalam situasi rill.
  • Mengukur perasaan, memberi skala 1-100 untuk mengukur perasaan cemas yang dialami saat ini.
  • Menghentikan pikiran, klien akan belajar mengontrol pikiran negatif dan usaha menjadikan hal tersebut menjadi pikiran positif.
  • Desentisisasi sistematis, mengganti respons takut atau cemas menggunakan respon relaksasi yang sudah dipelajari.
  • Pelatihan kemampuan sosial.
  • Assertiveness skill training atau belajar untuk bertindak tegas.
  • Penugasan rumah, klien perlu mengerjakan hal-hal tertentu dalam kepentingan terapi.
  • In vivo exposure, klien diajarkan mengatasi situasi penyebab masalah dengan memasuki kondisi nyata tersebut.
LihatTutupKomentar